Dakwah Pendekatan Ekonomi


Selama ini kaum Muslimin (khususnya gerakan dakwah Islam) giat mengajak masyarakat hijrah dari kehidupan jahiliyyah menuju kehidupan Islami. Hijrah yang dimaksud ialah memulai kehidupan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sejak dari masalah pribadi, ibadah, akhlak, penampilan, muamalah, sosial, sampai urusan kenegaraan. Istilahnya, menjadi Muslim secara totalitas.

Setiap pemuda Muslim (atau Muslimah), saat dia melakukan hijrah dari keadaan jahiliyah menuju kehidupan Islami, dia telah mengerahkan banyak PENGORBANAN. Terutama, pengorbanan perasaan, kejiwaan, dan sosial. Jika semula dia malas Shalat, akhirnya konsisten Shalat. Jika semula dia tidak menutup aurat, akhirnya menutup aurat. Jika semula matanya tidak dijaga, akhirnya dijaga, menghindari pemandangan haram. Jika semua berkecimpung dalam bisnis haram (misalnya ribawi), akhirnya ditinggalkan. Dan lain-lain.

Namun masalahny, hijrah kejiwaan dari kehidupan jahiliyyah menuju kehidupan Islam, ia baru setengah perjalanan hijrah seorang Muslim. Ia belum menjawab seluruh kebutuhan hijrah seperti yang diharapkan dalam Islam. Hijrah batin adalah fondasi kehidupan seorang Muslim, tetapi ia perlu diikuti dengan hijrah zhahir, sehingga hijrah itu menjadi paripurna (total).

Lalu apa yang disebut sebagai hijrah zhahir? Ia adalah kemandirian ekonomi seorang Muslim.

Nabi Muhammad Saw pernah mengatakan, “Yadul ulya khairun min yadis sufla” (tangan yang di atas lebih baik daripada tangan di bawah). Maksudnya, seorang Muslim yang memberi sedekah kepada orang lain, lebih baik daripada Muslim yang selalu meminta-minta kepada orang lain.

Hadits shahih ini memberi hikmah luar biasa. Bahwa dalam kehidupan ini, seorang Muslim harus berusaha mandiri secara ekonomi, sehingga dia tidak bergantung kepada orang lain, tidak selalu merepotkan orang lain, tidak menjadi beban Islam dan kaum Muslimin. Hendaklah setiap Muslim berusaha memberi pertolongan kepada Islam, bukan selalu meminta belas-kasihan Islam. Nah, untuk mencapai kemandirian itu tentu kita harus berjuang secara maksimal.

Hadits di atas, dikuatkan oleh hadits shahih lain, bahwa Nabi Saw bersabda, “Al mukminul qawiyyu khairun wa ahabbu ilallah minal mu’minid dhaif” (Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah). Faktor kekuatan itu bisa apa saja, mulai dari ilmu, ekonomi, akses ekonomi, pengaruh sosial, kesehatan fisik, dll.

Jadi, ketika seorang Muslim sudah berhijrah secara batin, dia harus pula berhijrah secara zhahir, yaitu membangun kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ekonomi, dia tidak lagi merepotkan orangtua, tidak merepotkan mertua, tidak merepotkan adik-kakak, tidak merepotkan kawan-kawan, dll. Bahkan dia justru lebih giat menolong orang lain dengan santunan-santunan hartanya.

Dalam pandangan Jalaluddin Rakhmat, penduduk miskin yang sangat fantastis, bukan dikarenakan factor cultural atau karena mental masyarakat Indonesia yang bernasib miskin, namun karena system ekonomi Indonesia yang belum mampu menyentuh mereka. Oleh karena itu, system pulalah yang harus menjadi solusi dari kendala kemiskinan tersebut. Dalam tulisan ini, Dakwah ekonomi merupakan jalan terbaik untuk menyentuh penduduk miskin tersebut.

Pengertian dakwah ekonomi dapat dimaknai bagaimana merubah suatu keadaan dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik. Bagaimana merubah keadaan masyarakat yang tidak berpendapatan ke dalam masyarakat yang berpendapatan sehingga dapat menghindarkan masyarakat dari kekufuran yang disebabkan oleh factor ekonomi. Bagaimana merubah masyakarakat yang memiliki penghasilan pas-pasan menjadi memiliki sedikit tabungan untuk jaminan masa depan/ tuanya jika panjang umur atau untuk anak-anaknya kelak.

Dalam pandangan rekayasa sosial, bagaimana merubah suatu masyarakat setidaknya harus memiliki beberapa komponen, yakni ide, sekelompok orang, dan gerakan sosial. Dakwah juga dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, dakwah melalui struktur, cultural ataupun mobilisasi massa seperti diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Ide sudah lama ada, sekelompok orang yang bergerak dalam bidang dakwah ekonomi sudah banyak dan gerakan-gerakan ke arah sosialisasi Bank Syari’ah sebagai pondasi ekonomi yang sehat dan bebas bunga telah banyak dilakukan. Bahkan Kementrian KUMKM pun menjadikan kredit ekonomi syari’ah sebagai program hingga masuk ke BMT-BMT yang berada di pelosok.

Sekitar tahun 1996-1999, Bank Muamalat Indonesia telah menjadi pelopor dalam  'dakwah ekonomi syariah' dimana salah satu aktivitasnya adalah dakwah melalui media TV di bulan Ramadhan. Kegiatan dakwah ini sangat didukung oleh Biro Perbankan Syariah, BI. Kemudian dengan berdirinya Syarikat Takaful Indonesia  dan Bank Syariah Mandiri, maka BMI mendapat teman berdakwah. Juga dengan mulai berdirinya (dan akan berdirinya) UUS di bank pemerintah dan swasta, maka mulai banyak yang ikut 'silaturahmi' melalui dakwah ini.


LAZNAS BMT
(Baihaqi Abdul Madjid, Direktur Laznaz BMT ICMI)

Sebagai lembaga swadaya masyarakat plus lembaga amil zakat nasional, LAZNAS BMT bergerak dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya. Namun, faktor hambatan pendanaan tersebut tidak menyurutkan semangat aktivis LAZNAS BMT dan BMT dalam menjalankan dakwak ekonominya serta dalam mendorong masyarakat mengembangkan BMT-BMT di berbagai pelosok desa dan kota-kota, bahkan LAZNAS BMT telah menyiapkan master program untuk mengembangkan BMT ke seluruh mesjid-mesjid dan desa di Indonesia. Capaian yang ingin dituju LAZNAS BMT adalah menghadirkan BMT-BMT ke seluruh desa di Indonesia sebagai pusat-pusat pelayanan ekonomi umat yang berkeadilan, bermartabat dan bebas riba.



Dengan hadirnya BMT di seluruh desa-desa dan di mesjid-mesjid di perkotaan paling tidak sendi-sendi ekonomi masyarakat lokal seperti pertanian, peternakan, perdagangan, kerajinan rakyat dan sektor-sektor informal lainnya dapat bertumbuh dan berkembang lebih baik dan lebih pesat lagi. Bagi usaha-usaha kecil yang sudah mati diharapkan dapat berdenyut dan bergerak seperti sediakala. Sentra-sentra produksi lokal dapat hidup dan menghidupi warga sehingga tingkat kesejahteraannya menjadi lebih baik.  Dengan tumbuh-tumbuhnya ekonomi desa dan di lingkungan mesjid, maka jumlah umat Islam yang miskin dapat ditekan dalam waktu yang cepat dan secara berkelanjutan bisa survive ditengah-tengah pertarungan ekonomi yang semakin tidak terkendali.

BMT dalam skala mikro ternyata cukup ampuh menghempang masuknya tangan-tangan bank konvensional dalam menarik dana masyarakat pedesaan untuk di angkut ke Jakarta dan selanjutnya dipinjamkan kepada konglomerat dan pengusaha besar. Misalnya, Bank BRI yang menyedot dana umat Islam dengan membuka loket-loket kantor unit desa di seluruh pelosok nusantara, setiap tahunnya berhasil menyedot dana sebesar Rp17 trilyun, tetapi yang mereka salurkan dan biayai usaha masyarakat hanya sebesar Rp7 trilyun. Bayangkan jika setiap tahun Rp10 trilyun dana orang-orang desa yang dialihkan pembiayaan ke luar desa, maka coba hitung sendiri kalau penyedotan ini telah berjalan bertahun-tahun.

Belum lagi berpuluh Bank-Bank yang lain, kendati Bank-Bank tersebut berlabel syariah. Namun, karena prinsip kepemilikan dan Undang-Undang Perbankan yang bersumber dari sitem yang menyembah thagut, maka sekali lagi amatlah musykil Bank-Bank yang beroperasi di Indonesia dapat memberikan harapan pada kebangkitan ekonomi umat Islam. Bahkan Bank Danamon yang pemilik modalnya konglomerat Singapura, begitu ekspansif menyedot dana pengusaha-pengusaha kecil melalui jaringan Simpan Pinjam Danamon yang buka loket di pasar-pasar. Aturan UU Bank Indonesia pun tidak bisa mengatur ‘rentenir’ klas kakap yang mengambil dana oaring kecil-kecil seperti ini. Maka bagaimana mungkin desa-desa dan ekonomi fakir miskin tumbuh dan bagaimana cara ekonomi umat bergerak di bawah? Sampai kapan umat Islam menunggu dalam kemiskinan?

Sementara disisi lain, di kawasan-kawasan yang BMT berkembang dan bertumbuh praktek-praktek rentenir yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat pedesaan secara perlahan-lahan kehilangan peminatnya. Akan tetapi, sekali lagi para rentenir biasanya berangkat dari back up oknum-oknum aparat dan preman yang menguasai kawasan-kawasan tertentu, sehingga acap terjadi pertempuran antara pengelola BMT dengan para rentenir dan pendukung-pendukungnya.

Berdasarkan laporan pengurus BMT, bahwa pada desa-desa yang ada BMT-nya, justeru praktek-praktek rentenir hilang dan lenyap bagai ditelan bumi. Hal ini bukan karena BMT mampu menggantikan fungsi para rentenir akan tetapi pengurus BMT yang mensyaratkan tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh (ulama) dan memiliki kemampuan sebagai penda’i berhasil memberikan pelayanan pembiayaan yang mudah, cepat dan tidak menjerat leher pengusaha kecil.

Pada sisi lain biasanya pengurus BMT mampu membawa suasana baru dalam praktek ekonomi yaitu dengan memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah yang mudah, merakyat, gampang dan tidak birokratis. Pelayanan BMT yang diberikan pengelola kepada anggota sedapat mungkin menghindari eklusifitas dan persyaratan yang rumit.

Dengan kesederhanaan dan tidak suka bertele-tele, bahkan tidak jarang mereka cuma pakai sandal jepit dan sarung datang ke kantor BMT untuk melakukan transaksi. Pada daerah pesisir seperti di Serang, nelayan yang baru naik ke darat dari perahunya, bahkan dengan keadaan ‘basah-basah’ dapat saja melakukan transaksinya tanpa hambatan.

Hasil studi kasus yang kami lakukan pada beberapa BMT di Jawa Tengah yaitu pada BMT Bina Umat Sejahtera, Lasem-Rembang, BMT Bintoro Madani Demak dan BMT Pekajangan Klaten. BMT di Jakarta dan Jawa Barat seperti BMT At-Taqwa, yang berlokasi di Mesjid Komplek Pajak, Kemanggisan, Jakarta Barat dan BMT Ibadurrahman di Ciawi, Bogor bahwa hampir dapat dipastikan BMT-BMT tersebut justeru dapat menancapkan eksistensinya karena mampu menjaga kepercayaan masyarakat.

Sedangkan dalam proses sosialisasi BMT ke tengah-tengah masyarakat, para da’i BMT dituntut memiliki kemampuan membahasakan BMT dan pola kerjanya dengan bahasa-bahasa masyarakat desa. Bahkan pada BMT Bina Umat Sejahtera, yang Ketuanya KH. Abdullah Yazid sendiri kerap menjadi da’i yang tour ke mesjid-mesjid untuk menjelaskan BMT. Sangat luar biasa KH. Abdullah Yazid banyak memberi warna dalam kehidupan keagamaan masyarakat di Kabupaten Rembang dengan menjembatani komunikasi dan bisnis kaum Nahdhiyin dan Muhammadiyah di Jawa Tengah, bahkan sekarang BMT BUS menjadi tempat belajar para santri-santri yang belajar manajemen BMT dari Jawa Timur dan aktifis BMT seluruh Indonesia.
Ekonomika Islami
Ekonomika Islami (EI) (Islamic Economics) dita’rifkan sebagai “ilmu yang mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai ridha Allah” (Sarkaniputra, 2005). Oleh karena itu sebagai suatu disiplin ilmu – per ta’rif EI -- ia mencakup tiga domein, yakni: (a) tata kehidupan masyarakat, (b) kebutuhan hidup, dan (c) ridha Allah. Walaupun terkesan sangat sederhana, ta’rif ini merupakan muaradari sinergi antara fiqih, tashawuf dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sepertiyang dirintis oleh pemikir muslim awal antara lain al Ghazali, Ibn Thaimiyah, dan Ibn Khaldun. Dari penelaahan penulis selama lebih dari 20 tahun, kesinergiannya ditunjukkan oleh DNA-artificial chromosom ketika kita membahas unsur-unsur implementasi dalam investasi ekonomi islami (Sarkaniputra, 2005).

0 komentar:

Posting Komentar